Beberapa Video Game yang Alami Kegagalan Awal Tahun 2020
Menuai kesuksesan dalam medium video game merupakan hal yang sangat sulit. Khususnya untuk tahun 2020, di mana permintaan akan game yang berkualitas semakin tinggi. Banyak developer dan publisher mengatasinya dengan melakukan remaster maupun remake agar para fans tidak pergi begitu saja dan tetap setia dengan mereka. Sebuah cara main aman yang sudah menjadi rahasia umum di industri video game.
Namun, tak sedikit dari mereka yang justru membuat game baru dan dengan suksesnya gagal dengan indah. Saking indahnya, gamenya bahkan tak pantas kamu miliki. Berikut beberapa video game yang mengalami kegagalan di awal tahun 2020.
Daftar isi
Commandos 2 Remastered
Penyensoran parah, mungkin itulah kalimat yang bisa menjelaskan Commandos 2 Remastered. Game tactical yang merupakan remaster dari seri orisinalnya tahun 2001 silam tersebut merupakan salah satu berlian di masa keemasan game strategi dan tactic.
Jika kamu sempat memainkannya, Commandos 2 versi 2001 merupakan game yang angkat sejarah perang dunia kedua. Kamu akan bertugas untuk menjadi komandan pasukan sekutu untuk menyusup ke markas musuh pada tahun 1941-1942 demi menggagalkan misi utama Jerman dan Jepang kala itu.
Sayangnya, versi remastered justru banyak sekali lakukan penyensoran. Beberapa simbol Nazi, Jepang, dan animasi terbakar atau orang yang menderita. Tak jadikannya sebagai remaster yang otentik sejalan dengan seri orisinalnya. Bug di awal perilisan yang mengacaukan semua permainannya juga gagal hantarkan Commandos 2 Remastered untuk kembali dicintai para fans lawasnya.
Space Channel 5 VR: Kinda Funky News Flash
Space Channel 5 VR: Kinda Funky News Flash merupakan versi VR dari game joget Space Channel 5 yang awalnya dirilis untuk Dreamcast pada tahun 1999. Game milik SEGA tersebut masih mempertahankan Ulala sebagai karakter utamanya. Ia didesain untuk para gamer yang tak begitu hardcore sembari menarik hati para perempuan untuk ikut memainkannya.
Karena versi VR memanfaatkan headset VR, maka tak heran apabila takkan ada opsi dualshock untuk memainkannya. Melainkan menggunakan motion controller yang hadir bersamaan dengan headset VR. Buatmu menari mengikuti irama musik dan contoh tarian yang dilakukan Ulala maupun Alien yang ada dalam gamenya.
Sayang, developer gamenya, Grounding Inc gagal memanfaatkan teknologi VR. Ini membuat gamenya tak bisa merekam gerakan sempurna yang telah kamu lakukan, membuatmu gagal melakukannya. Jika kamu tak bisa melakukannya sebanyak tiga kali, maka kamu akan mengulang levelnya dari awal.
Membuat gamenya gagal untuk kembali menyegarkan ingatan para fans lawas dan hantarkannya untuk menginginkan sekuelnya.
Dawn of Fear
Membuat game horror di atas kertas terlihat sangat mudah, kamu hanya perlu membuat player takut dengan gamenya. Namun tidak semudah itu dalam pengaplikasiannya. Beberapa mekanik juga harus diperhatikan agar gameplay tak membosankan dan mudah ditebak. Salah sedikit saja, maka gamenya akan sangat mudah ditebak dan tak menyenangkan lagi.
Inilah yang dilakukan Dawn of Fear buatan Brok3nsite, developer indie yang dapatkan bantuan staff PlayStation berkat program PlayStation Talents Initiative. Mereka merupakan fans berat dari Silent Hill, Onimusha.dan Resident Evil, maka tak heran apabila gamenya angkat formula yang sama dengan ketiga game tersebut.
Meskipun pendekatan Dawn of Fear lebih condong ke supranatural dan tak seperti game horror lain yang fokus pada monster. Sayangnya, kemiripan gameplaynya tanpa adanya perubahan berarti dari tiga franchise tersebut membuatnya tak begitu revolusioner. Terlebih, buruknya terjemahan dan voice acting yang justru menghancurkan segalanya.
Dawn of Fear juga tak segan untuk mengcopy semua yang ada di level pertama Resident Evil pertama. Nyaris semua elemennya sama baik dari angle kamera, peluru terbatas, hingga puzzlenya. Yang membuatnya berbeda adalah asset yang mereka buat sendiri.
Kekacauannya yang luar biasa baik dari animasi, bug yang tidak karuan, lengkap dengan puzzle yang sangat mudah, membuat game tersebut dianggap gagal bahkan oleh fans Resident Evil sendiri.
Arc of Alchemist
Mengusung tema action JRPG dengan beberapa elemen khasnya dan karakter imut tak sertamerta membuat perjalanan Arc of Alchemist mulus dalam industrinya. Game yang miliki base building untuk memperkuat salah satu karaktermu tersebut, miliki gameplay super repetitif yang dibalut dengan tampilan visual dan animasi yang kaku. Sebuah kekecewaan bagi developer dan publisher sekelas Compile Heart dan Idea Factory yang umumnya memiliki track record yang baik untuk game JRPG.
Sayangnya, mereka tak berhasil ketika mencoba untuk membuat action JRPG yang terasa tergesa-gesa untuk dirampungkan. Terlebih ketika gamenya mengalami berbagai masalah stuttering di beberapa wilayah tertentu. Bahkan PlayStation 4 pro-pun tak bisa mengatasinya.
Kombinasi combo yang sangat simple membuat Arc of Alchemist tak bisa menjadi game action yang baik. Bagaimana tidak? Kamu hanya diberikan primary attack, secondary attack, dan beberapa combo saja dengan variasi yang terbatas. Pertempuran biasa akan berakhir dalam beberapa detik, namun bosnya yang random akan buatmu terpaksa harus kabur kalau tak ingin seluruh partymu musnah.
Banyak kritik dan fans anggap bahwa Arc of Alchemist hanya sekedar game membosankan yang gagal memenuhi ekspektasi para fans. Mereka juga menganggap gamenya tak miliki jiwa sama sekali dan tak menarik berkat ceritanya yang ditulis dengan baik.
Warcraft III: Reforged
Gagal total, inilah yang dilakukan Blizzard pada Warcraft III: Reforged. Versi remaster dari game real-time strategy yang sempat membesarkan nama Blizzard hingga akhirnya dilirik Activision. Promosinya yang janjikan banyak sekali fans loyal Blizzard dengan kemegahan seperti tampilan visualnya, hingga bagaimana adegan sinematiknya yang diubah rupanya tak diterjemahkan dengan sangat baik.
Beberapa bug dan glitch yang muncul dalam gamenya saat pertamakali dirilis jadikan Warcraft III: Reforged game yang belum rampung dikerjakan. Tak berhenti sampai di situ saja, mereka juga memberikan perjanjian bahwa semua aset dan custom map yang player buat akan menjadi milik Blizzard. Sebuah tindakan preventif agar tak kecolongan seperti DotA2 namun justru terlihat menjadi sebuah tindakan anti-konsumen.
Banyak orang yang mengatakan bahwa mereka tak boleh berharap berlebihan tentang Warcraft III: Reforged. Namun pada kenyataannya Blizzard yang dikenal karena kualitasnya yang sangat tinggi dan menjunjung tinggi fans, khususnya gamer PC justru seperti menembak kakinya sendiri dan tak memenuhi ekspektasi para fansnya.
Itulah game yang gagal di awal tahun 2020. Meskipun baru sedikit, namun sudah seharusnya para developer dan publisher memenuhi janji yang mereka sebar dalam promosinya terhadap para fans. Terlebih untuk urusan kualitas. Hal ini mencegah para fans agar tak membelot dan meninggalkan mereka karena telah membuatnya kecewa.
Bagaimana menurutmu? Apa saja game yang gagal dan mengecewakan di awal tahun 2020 ini?